Ini masih tentang tayangan televisi seperti tulisan saya sebelumnya yang berjudul Idola Cilik. Tayangan televisi sepertinya sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat kita, terutama untuk masyarakat golongan menengah ke bawah. Paling tidak bagi mereka, tayangan yang diberikan oleh Televisi mampu sedikit banyak memberikan hiburan bagi mereka disaat berbagai persoalan hidup menimpa mereka.

Kegelisahan tentang tayangan televisi ini tiba-tiba ingin saya tulis kembali ketika berbincang-bincang dengan teman-teman membahas tayangan televisi di zaman kami dulu. Dan kemudian teringat akan diskusi ringan dengan teman yang seorang wartawan, dia pernah mengatakan bahwa sebuah media itu ideal nya tidak memberikan sesuatu yang menghibur saja tapi juga harus mendidik. Dan dia juga menegaskan bahwa kalau mau media itu menjadi barang yang laku di pasar, maka suguhkanlah sesuatu yang menghibur. Kenapa begitu? Jawabnya seperti yang saya sampaikan di atas, bahwa persoalan hidup saat ini sudah semakin kompleks. Apalagi di musim-musim Pemilu dan Pilpres seperti ini, sepertinya masyarakat sudah resah dengan janji-janji surga Sang Penjual Mimpi (baca: Capres dan Cawapres) akan harapan Indonesia yang lebih baik. Dan akhirnya, hiburan yang murah meriah pun menjadi sasaran sebagai obatnya.

Televisi bisa diibaratkan dengan agresi tentara bersenjata lengkap menyerbu sasaran yang tak berdaya dari pintu ke pintu, dari bilik yang satu ke bilik yang lain. Analog ini nampaknya bukan serampangan. Pasalnya, daya jangkau televisi sangat luas disertai dengan sifat pandang dengarnya yang serempak dapat mudah menyusup ke wilayah tersempit sekali pun.

Degradasi Moral
Apa yang kita lihat menjadi apa yang kita pikirkan dan apa yang kita pikirkan akan menjadi apa yang kita kerjakan. Kira-kira begitu makna Cogito Ergo Sum-nya Rene Descartes. Kita bayangkan saja ketika dalam satu hari kita menonton tanyangan televisi minimal 5-8 jam satu hari, maka dalam waktu itu jugalah doktrin-doktrin baru masuk ke otak kita sehingga menjadi apa-apa yang kita pikirkan dan kerjakan. Lalu bagaimana yang terjadi jika tayangan televisinya tidak mendidik??? Maka degradasi moral lah yang terjadi. Kita perhatikan saja trend berpakaian siswi SMU saat ini yang lebih “gaul” katanya kalau menggunakan rok sejengkal di atas lutut. Belum lagi pola dan tingkah mereka terhadap guru. Guru sepertinya menjadi sebuah mainan baru yang menghibur bagi para siswa yang ditonjolkan di televisi. Yang akhirnya tidak lagi bermuara kepada kenakalan remaja tapi sudah kepada kejahatan remaja. Jadi, perbuatan melecehkan guru, melawan orang tua, membunuh, balas dendam dan sebagainya sudah dianggap hal yang wajar dan memang harus menjadi sebuah kewajaran.

Selalu ada bahan untuk dibicarakan
Ketika sedang bersiap-siap menuju kantor, sambil melihat siaran televisi ternyata sudah di suguhkan dengan berita Cici Paramida dan Manohara. Kemudian pergi ke kantor, sambil bekerja melihat tayangan televisi, ternyata ada berita lagi tentang pacar Dwi Andika yang katanya direbut oleh Mandala. Eh, sore nya… malamnya… masih berita-berita seputar gossip artis yang terekspos. Sepertinya berita tentang Pilpres sudah kalah menarik daripada kasus-kasus di atas. Maka tidak salah, para ibu-ibu dan remaja-remaja putri banyak yang tidak akan kehilangan bahan untuk dibicarakan ketika mereka mengumpul. Gossip, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena tersebut. Dan gossip sama saja dengan membicarakan keburukan orang lain. Membicarakan keburukan orang lain sama saja dengan ghibah, dan hukum ghibah itu ketika yang kita bicarakan adalah hal sebenarnya maka sama saja kita menghujat orang tersebut dan ketika yang kita bicarakan itu adalah hal yang tidak sebenarnya maka sama saja kita memfitnah orang tersebut. Baik dari sudut pandang agama atau sudut pandang sosial, menghujat dan menghina adalah sama-sama perbuatan yang tidak baik.

Cukup dengan bermimpi saja, karena semua menjadi mungkin
Benar adanya bahwa semua hal itu diawali dengan mimpi. Namum makna mimpi disini saya pikir perlu diluruskan kembali agar ada pemahaman bersama tentang mimpi seperti apa yang seharusnya. Seharusnya, mimpi adalah menjadi jalan bagi seseorang untuk melakukan proses perjuangan (usaha) untuk mewujudkannya. Sehingga tidak cukup dengan menjadi pemimpi saja!!! Lihatlah tayangan televisi kita saat ini, kita semua disulapnya menjadi generasi pemimpi!

Alkisah, seorang gadis miskin bertemu pria kaya lalu pacaran dan menikah, tapi kemudian tersiksa oleh ibu mertua dan ipar-iparnya, namun akhir cerita berujung bahagia.

Betapa mudahnya hidup ini dalam tayangan televisi !!! Atau alkisah lainnya,
seorang anak yang tesiksa oleh ibu dan saudara tirinya yang hanya dengan memanggil Ibu Peri maka segala kesedihan akan terobati.

Atau kisah lainnya,
sekelompok anak kecil yang memiliki kekuatan istimewa mampu terbang, mengeluarkan tenaga gaib dan mampu membasmi semua musuh dengan jurus-jurus andalannya. Sepertinya tidak ada hal yang tidak mungkin dalam imaginasi tayangan televisi.

Lalu apa peran tokoh agama dalam tayangan televisi??? Mereka hanya ada di tayangan didikan subuh yang ketika banyak orang masih tertidur atau lagi sibuk persiapan pribadi ke tempat kerja. Sisanya tokoh agama menjadi kekuatan penghusir hantu, jin dan sejenisnya. Hidup tidak cukup dengan bermimpi saja, padahal alam semesta yang luas ini menuntut kita menjadi pejuang.

Mengembalikan Hukum Rimba
Semangat kekerasan kembali di “hidupkan” oleh tayangan televisi. Sepertinya balas dendam dan membunuh menjadi keharusan untuk membalas segala perbuatan jahat seseorang kepada kita. Generasi ini juga akan mempunyai sifat egois yg tinggi, cuek dengan sekitar, bahkan (paling parah) tidak mempunyai empati dan simpati terutama kepada orang lain yg mengalami musibah. Akibatnya jelas, kasih sayang sesama akan hilang dan yang ada dan tumbuh adalah rasa curiga dan tidak percaya dengan orang lain.

Semua menjadi mudah dan ada jalan keluarnya
“Anda mau tau peruntungan anda, silahkan ketik PRIMBON kirim ke 90xx. Kami pasti akan memberikan peruntungan anda dengan akurat”
“Anda mau tau aktifitas sehari-hari saya, silahkan ketik DIAN SASTO kirim ke 90xx. Sms yang kamu terima langsung dari HP saya”
“Anda mau tau ramalan hidup anda, silahkan ketik PAPA kirim ke 90xx.” Dan lain-lain !!!

Padalah sudah jelas-jelas tertulis dalam iklan tersebut (walaupun ditulis dengan font yang kecil) bahwa hal diatas adalah layanan hiburan semata. Tapi ternyata masih ada juga orang-orang yang terpedaya dengan hal ini. Seperti nya layanan SMS seperti ini sudah menjadi kultus kontemoporer (berhala gaya baru) yang diyakini dan dipercayai oleh manusia yang katanya berakal. Belum lagi acara-acara televisi yang melakukan kompetisi dengan menggunakan SMS sebagai jurinya. Maka cara paling tepat untuk menjadi seorang Penyanyi, Artis, Duta ini Duta itu, Putri ini Putri itu, bahkan sampai menjadi Da’i pun cukup dengan memikat hati penonton (agar penonton menjadi iba) dan mereka mendukungnya dengan mengirim SMS sebanyak-banyaknya. Maka terciptalah generasi instan tak berbakat yang tenar hanya karena dikasihani.

Umbar Aib adalah kewajaran
Dan fenomena teranyar adalah seputar Reality Show saat ini. Sepertinya umbar mengumbar aib menjadi sesuatu yang indah untuk disaksikan. Dan walaupun itu hanya sebagian sebuah rekayasa, sekali lagi sebuah REKAYASA, tapi tetap saja yang menonton terbawa emosinya oleh tayangan itu. Sebut saja Termehek-Mehek, Masihkan Kau Mencintaiku, Tiada yang Abadi dan tayangan sejenisnya. Hanya demi sebuah rating, dengan bahagianya bahkan terhibur kita akan tayangan umbar aib tersebut.

Mencari laba dan ikut mencerdaskan bangsa merupakan dua kepentingan yang sama-sama harus dihasilkan dalam dunia televisi. Namun perlu dipilah, mana yang kepentingan makro dan mana yang kepentingan mikro. Jangan hanya karena tuntutan mencari profit, generasi muda Indonesia hancur karena tayangan televisi. Lakukan gerakan sederhana mulai saat ini, untuk tidak menonton tayangan televisi yang tidak berkualitas !!! Semoga tayangan televisi kedepan, tidak hanya memberikan suguhan yang menghibur namun juga mendidik.