Layaknya sebuah pesta, maka Pemilihan Presiden sebagai salah satu helatan pesta demokrasi menjadi sesuatu yang juga hiruk pikuk layaknya pesta. Indonesia pada tanggal 9 Juli 2014 ini kembali akan memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, ada dua pasang calon pada Pilpres kali ini yaitu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dan Joko Widodo – Jusuf Kalla
Saya tidak akan membahas rekam jejak kedua pasang Capres dan Cawapres kita ini, saya pikir sudah terlalu banyak orang yang membahasnya. Tinggal bagaimana kita saja memilih dan memilah informasi mana yang perlu kita percayai dan mana yang perlu kita cek kembali.
Semua menjadi melek politik
Yang menarik perhatian saya terkait pesta demokrasi ini adalah tentang perang opini antar pendukung Capres dan Cawapres di media sosial. Kalau opini yang di bangun oleh account anonim, ya sudahlah biar saja itu memang sudah kerjaan mereka. Jadi tidak perlu kita permasalahkan apa yang mereka blow up di socmed itu. Atau account personal yang orangnya secara struktur masuk di dalam tim pemenangan, ya sudah lah. Itu juga sudah bagian dari kerjaan mereka, saya juga tidak akan mempersoalkannya.
Tapi bagaimana dengan account personal yang secara struktur mereka tidak masuk dalam tim, dan mereka hanya sekedar simpatisan dari Capres dan Cawapres itu. Ini yang menjadi menarik dalam Pilpres kali ini. Kemajuan IT di Indonesia mungkin sudah bisa di bilang sangat maju, jejaring sosial bukan lagi barang yang aneh oleh masyarakat kita. Jadi wajar kalau hampir semua umur, golongan, tingkat pendidikan dan sebagainya punya account baik itu Facebook, Twitter, Path, Instagram dan lain-lain. dan akhirnya, mereka-mereka ini karena menjadi simpatisan dari si Capres dan Cawapres mulai memposting hal-hal tentang jagoan nya. seakan-akan dia menjadi aristokrat baru yang menguasi ilmu tentang beretika, bernegara dan mengurusi kepentingan khalayak ramai. Semua seakan-akan menjadi orang yang paling paham politik.
Copy, paste, share
Dalam teknik propaganda, maka mengemas isu menjadi menarik untuk di lemparkan ke publik adalah sebuah strategi yang harus dilakukan. Saya sangat yakin sekali bahwa kedua pasangan capres – cawapres ini memiliki tim propaganda. Targetnya adalah isu yang mereka kemas dan lempar ke publik itu (baik benar ataupun salah) bisa berkembang di masyarakat, lalu diyakini oleh masyarakat dan akhirnya di anut menjadi sebuah sikap dan tindakan.
Karena luar biasanya pengemasan isu ini menjadi hal yang menarik, maka masyarakat kita sebagai simpatisan tanpa melakukan kajian langsung saja memposting di jejaring sosial mereka. Mereka tidak perlu benar atau salah, tidak perlu melakukan kajian, yang penting mereka meyakini bahwa isu ini adalah hal benar yang harus mereka yakini dan harus mereka sampaikan kepada orang lain. terutama di jejaring sosial mereka.
Debat Kusir
Lalu apa yang terjadi jika isu itu kita posting di jejaring sosial milik kita? Tentu saja perdebatan lah yang akan muncul. dan lawan debat kita tidak lah orang lain, tapi adalah teman kita sendiri. Disini yang membuat saya sedikit miris. Tidak sedikit yang saya lihat dan perhatikan, debat mereka sudah tidak sehat lagi. Bagi mereka, si Capres dan Cawapres adalah sepasang manusia yang benar secara absolut. Jangankan salah, khilaf pun tidak ada di lakukan oleh capres dan cawapres mereka. Tidak sedikit juga, debat mereka menggunakan kata-kata kasar, cacian dan makian. Dan sekali lagi,
lawan debat mereka itu adalah teman mereka sendiri.
Sama halnya perdebatan tentang mana duluan ayam atau telur. Semua punya argumen sendiri, dan semua yakin paling benar. Belum tentu ketika kita benar maka orang lain menjadi salah, karena kebenaran manusia itu bersifat relatif. Setiap orang punya cara pandang sendiri sehingga mereka punya kebenaran menurut versi mereka sendiri.
Lalu apa untungnya bagi mereka ini untuk saling berdebat, mencaci maki dengan rekan mereka sendiri dalam jejaring sosial mereka mempertahankan harkat dan martabat seseorang yang adalah bukan nabi kita.
Hak Politik
Setiap kita mempunyai hak politik yang sama. Setiap orang punya hak untuk di pilih dan memilih sesuai dengan persyaratan yang di atur dalam perundangan kita. Maka tidak salah jika kita menjadi pendukung dalam helatan pilpres kali ini. Kita harus yakin, bahwa segala keputusan yang menyangkut harkat hidup orang banyak dalam sebuah negara itu di putuskan dalam sebuah keputusan politik. Dan karena kita maka kita harus terlibat untuk mempengaruhi kebijakan itu dengan cara salah satunya yaitu memilih partai atau Presiden yang sesuai dengan kita. Tidak memilih bukanlah sebuah pilihan menurut saya. Menurut saya, ketika kita dihadapkan dengan sebuah pilihan maka kita di anjurkan untuk cenderung berpihak kepada yang benar menurut kita.
Tapi mengapa aktifitas hak politik kita itu harus meretakkan ukhuwah dan silaturahmi dengan teman kita sendiri. Cara yang bijak menurut saya ketika kita menjadi simpatisan di jejaring sosial adalah, cukup dengan memposting hal yang baik tentang Capres – Cawapres kita. Tidak perlu hal-hal yang tidak baik tentang lawan nya kita posting, ditambahi komentar sedikit, dan postingan itu ternyata juga belum tentu kebenarannya. Karena hal itu akan memancing perdebatan layaknya membahas mana duluan ayam atau telur tadi.
Kedewasaan Berpolitik
Menurut Laswell, Politik itu adalah tentang siapa yang mendapat apa, kapan dan bagaimana. Secara komunal, jika pilihan kita itu menang mungkin akibat yang kita harapkan di dapat nantinya adalah bahwa dia akan mengurus negara ini dengan baik dan benar sehingga keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud bagi seluruh masyarakat kita.
Tapi secara personal apa yang kita dapat dari memperjuangankan capres dan cawapres itu? Kalau kita adalah bagian dalam yang terstruktur seperti yang saya bahas di atas maka mungkin-mungkin saja kita ada mendapat sesuatu secara personal. Tapi kalau kita hanya sekedar partisan, maka yang kita dapat adalah rusaknya ukhuwah, hilangnya teman, dan di benci oleh banyak orang.
Yang perlu kita ingat adalah, kita tidak pernah tahu siapa yang nantinya akan menolong dan siapa yang akan nantinya menjatuhkan kita. maka, berbuat baiklah tiap hari dengan siapa saja. dengan menjadi juru kampanye Capres di jejaring sosial secara tidak cerdas hanya akan menambah daftar orang-orang yang membenci kita dan nantinya akan menjadi orang yang menjatuhkan kita. menjadi pendukung itu boleh-boleh saja, tapi tidak menjadikan kita fanatik yang berlebih-lebihan. Karena bentuk fanatisme itu mendekati pengkultusan. dan pengkultusan adalah bentuk penyembahan berhala, dengan gaya baru. Berhala gaya baru adalah sesuatu yang kita yakini dihormati, dibela dan di perjuangan secara berlebihan sehingga mengabaikan kebenaran- kebenaran lainya.
Semoga Pemilihan Presiden tanggal 9 Juli nanti berjalan dengan aman dan damai, tingkat partisipasi pemilih tinggi dan mampu melahirkan pemimpin yang amanah. Selamat Berdemokrasi !