Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) dan pengambil kebijakan (decision maker), yakni negara.

Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dalam entitas dan kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama lain. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang melingkupinya, seperti perbedaan ideologi, strategi dan lainnya.

Dalam sejarah perjalanan bangsa paska kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor disetiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde Baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Menurut Akbar Tanjung mahasiswa harus sadar bahwa dirinya adalah kekuatan moral, bukan kekuatan politik. Kekuatan gerakan mahasiswa sejatinya terletak pada konsistensinya sebagai gerakan moral. Sekali gerakan mahasiswa masuk ke dalam gerakan politik, maka bukan hanya mereka akan terlibat terus menerus dalam pusaran politik sehingga kehilangan objektifitasnya dan orisinalitasnya, melainkan juga akan kehilangan ruh perjuangannya karena telah menjadi partisan. Sikap partisan akan melahirkan sikap subjektifitas dalam memandang persoalan dan akibatnya akan kehilangan dukungan moral masyarakat.
Arbi Sanit mengemukakan ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda.Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi di antara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.
Di samping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa. Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis di dalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra Universitas yang banyak terdapat dihampir semua Perguruan Tinggi.
Bagi para aktivis, peran dunia kampus terhadap perubahan dan demokratisasi adalah sangat penting dan signifikan. Mahasiswa mengharapkan iklim kampus yang kondusif terhadap terbangunnya tatanan demokrasi. Yakni salah satunya untuk turut mengklarifikasi segala pemberitaan dan isu bias di masyarakat. Peran kampus adalah sangat penting untuk membangun kesadaran sosial masyarakat.
Berkaca dari gerakan mahasiswa saat ini setidaknya ada dua hal yang perlu dikemukakan untuk membaca fenomena gerakan mahasiswa yang memprihatinkan ini, yakni menyangkut miskinnya idiologi gerakan mahasiswa dan minimnya tradisi intelektual.
Miskin Idiologi
Mencermati gerakan mahasiswa dalam perspektif ideologi merupakan hal mendasar untuk membaca langkah-langkah gerakan mahasiswa saat ini. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan sejauhmana ideologi mempengaruhi gerakan mahasiswa. Lalu, bagaimana wajah idiologi mahasiswa saat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya dikemukakan beberapa kajian tentang idiologi.
Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan.
Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga seringkali dipahami sebagai istilah yang abstrak. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya. Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Dari penjelasan diatas setidaknya idiologi dapat dipahami sebagai ide sistimitas dan cita-cita atau proyeksi masyarakat masa depan yang diyakini sebagai kebenaran dan diperjuangkan melalui tindakan nyata. Oleh karena itu akan terihat adanya suatu korelasi antara tindakan dan ideologi, artinya tindakan seringkali terjadi merupakan representasi dari ideologi atau seringkali bersumber dari sebuah ideologi yang dimiliki seseorang atau komunitas masyarakat. Dalam konteks ini, fenomena gerakan mahasiswa Indonesia bisa jadi dilatari oleh ideologi-ideologi yang dimilikinya. Meskipun kepemilikan ideologi tersebut hanya dimonopoli oleh sejumlah elit atau pemimpin dari gerakan mahasiswa.
Lalu, apa bukti yang menguatkan bahwa mahasiswa bergerak dengan ideologinya?”. Kalau dicoba ditelusuri, maka sebetulnya secara sederhana bisa di lihat dari tindakannya atau gerakan yang dilakukannya. Hal ini bisa dilihat lebih tajam lagi ketika pada gerakan mahasiswa Indonesia terjadi polarisasi hingga kemudian mengkristal secara ekstrim membentuk beberapa tipologi gerakan mahasiswa, yakni antara pragmatis, realis-kritis, dan radikal-revolusioner sebagaimana yang telah disinyalir sejumlah media massa pada november 1998 lalu. Gerakan mahasiswa yang pragmatis adalah representasi dari gerakan yang sangat miskin idiologi pergerakan, dan karenanya tidak layak disebut gerakan mahasiswa.
Dua klasifikasi gerakan mahasiwa (realis-kritis dan radikal-revolusioner) adalah contoh gerakan mahasiswa yang memiliki idiologi. Gerakan mahasiswa realis-kritis ini adalah mereka yang berfikir realistik tetapi sambil mengusung sejumlah agenda politik dengan cara-caranya yang kritis. Artinya gerakan mahasiswa mirip di posisikan sebagai koboi sebagaimana yang pernah di ulas So Hok Gie mengutip siaran radio Ampera dalam Zaman Peralihan. Bahwa perjuangan mahasiswa adalah seperti perjuangan Koboi. Seorang Koboi datang disebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan, dan ketidakadilan. Koboi ini menantang sang bandit berduel, dan ia menang. Setelah banditnya mati, penduduk kota yang ingin berterima kasih mencari sang Koboi. Tetapi ia telah pergi ke horizon yang jauh. Ia tidak ingin pangkat dan sanjungan. Ia akan datang lagi kalau ada bandit-bandit lain yang berkuasa. Ini yang kemudian dikenal sebagai moral force.
Sementara gerakan mahasiswa radikal-revolusioner adalah mereka yang berfikiran radikal, mempunyai cita-cita radikal, dan bertindak revolusioner. Artinya gerakan mahasiswa tidak sekedar moral force tetapi sudah masuk dalam kategori gerakan politik nilai atau sebuah gerakan politik yang radikal untuk menerapkan cita-cita (nilai) yang diinginkanya. Ini yang kemudian disebut values political movement. Pada gerakan mahasiswa radikal-revolusioner ini, pada titik tertentu dia bisa bergeser menjadi power political movement atau sebuah gerakan politik untuk merebut kekuasaan. Pada kategori kedua ini nampak ada basis idiologi yang kuat dalam pergerakannya. Sebab organisasi pergerakan mahasiswa yang berbasis idiologi adalah mereka yang terus berjuang mencapai cita-cita idiologisnya.
Minimnya Tradisi Intelektual
Sebab mendasar dari miskinnya idiologi pada gerakan mahasiswa saat ini adalah minimnya tradisi intelektual dikalangan mahasiswa. Tradisi intelektual adalah kebiasaan yang dicipta secara sadar oleh mahasiswa dan terus-menerus berlangsung dalam melakukan analisis terhadap teori-teori pengetahuan dan kenyataan sosial, antara asah otak dan asah kepedulian nurani untuk kepentingan orang banyak. Tradisi intelektual tidak sekedar membangun budaya baca, tulis, diskusi, dan riset, tetapi juga membangun budaya kepekaan sosial yang dalam.
Rata-rata kampus saat ini mahasiswanya minim tradisi intelektual, kemungkinan juga terjadi. Disini persoalannya juga menyangkut kultur universitas yang semakin kering spirit idialisme, kering spirit perbaikan, perubahan, dan perjuangan. Civitas akademika juga disibukan dengan penelitian-penelitian yang sebetulnya hanya sekedar memenuhi standar proyek dari departemen atau lembaga donor tertentu. Orientasi keilmuan dan kepekaan sosial sangat minim, yang terjadi justru didasari orientasi yang semata-mata uang. Bagaimana mungkin sebuah lingkaran kerjasama produktif antara universitas, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sekitar kampus bisa dibangun jika tradisi intelektual sangat minim di kampus-kampus ? Mahasiswa adalah agen utama dari proses pembangunan tradisi intelektual di kampus.
Penutup
Menyikapi Reformasi yang sudah bergulir sejak tahun 1998 dengan segala cita-cita nya yang tidak maksimal tercapai dapat secara sederhana disimpulkan ternyata Reformasi hanya sukses secara struktural saja tapi tidak secara cultural. Reformasi hanya membuka kran demokrasi saja, sehingga setiap orang memiliki hak secara politik yang “bebas” dan “luas”. Namun secara budaya dan prilaku, ternyata reformasi tidak memberikan hasil apa-apa. Beberapa bentuk penyimpangan kekuasaan yang pernah terjadi di orde baru juga masih dapat kita jumpai di orde reformasi ini dengan pelaku yang berbeda.